Sikap Kita Saat Menghadapi Isu dan Provokasi



(Mawqif Ad-Du’at Nahwa Al-’Ifki’)

إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”

لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ

“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu’minin dan mu’minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.”

لَوْلَا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ

“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.”

وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِي مَا أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.”

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ

“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.”

وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ

“Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: ‘Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.’” (An-Nuur, 24: 11-16)

Ikhwah wa akhwat Ad-Da’iyyat hafizhakumullaah…

Salah satu mawqif (sikap) yang harus kita miliki di dalam mengemban amanah dakwah dan jihad menegakkan syari’ah Allaah Ta’ala di muka bumi ini adalah sikap ber-husnuzhan (berprasangka baik) kepada saudara kita sesama mu’min—siapapun dia dan dari kelompok apapun mereka—sepanjang ia atau mereka dikenal keikhlasannya dan perjuangannya untuk Islam dan meninggikan kalimatullaah, maka hendaklah kita menahan diri dari berprasangka buruk dan apalagi sampai memfitnah atau menyebar isu, sebagaimana sabda kekasih kita shalallahu ‘alaihi wa sallam:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ

“Jauhilah prasangka itu, karena prasangka itu sedusta-dusta ucapan.” (HR Bukhari, XVII/210 dan Muslim, XVI/413; bahkan Imam Muslim menulis dalam shahih-nya bab: ‘Haramnya Su’uzhan, Mencari-cari Kesalahan Orang Lain…’ [XVI/412])

Alangkah banyaknya taujih dari Yang Maha Rahman agar kita selalu mengedepankan prasangka yang baik dan menolak syubuhat yang dituduhkan kepada saudara-saudara kita sesama muslim—siapapun dia dan dari kelompok manapun mereka. Jika mereka muslim dan bukan orang yang menunjukkan sifat-sifat kemunafikan, maka baginya haram darah, harta dan kehormatannya, sebagaimana dalam hadits shahih dikatakan,

لاَ تَحَاسَدوا، وَلاَتَنَاجَشوا، وَلاَ تَبَاغَضوا، وَلاَ تَدَابَروا، وَلاَ يَبِع بَعضُكُم عَلَى بَيعِ بَعضٍ، وَكونوا عِبَادَ اللهِ إِخوَانَاً، المُسلِمُ أَخو المُسلم، لاَ يَظلِمهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلا يكْذِبُهُ، وَلايَحْقِرُهُ، التَّقوَى هَاهُنَا – وَيُشيرُ إِلَى صَدرِهِ ثَلاَثَ مَراتٍ – بِحَسْبِ امرىء مِن الشَّرأَن يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسلِمَ، كُلُّ المُسِلمِ عَلَى المُسلِمِ حَرَام دَمُهُ وَمَالُه وَعِرضُه

“Jangan kalian saling hasad, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi, jangan membeli barang yang sudah dibeli oleh saudaramu, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menzhalimi dan menghina serta mengucilkannya; taqwa itu disini—sambil beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk dadanya 3 kali—cukup disebut seorang itu jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim; setiap muslim atas muslim yang lain haram darahnya, hartanya dan kehormatannya.” (HR Muslim, no. 2564; Tirmidzi, no. 1928)

Dan jika kita berinteraksi secara mendalam dengan Al-Qur’an, maka akan kita dapatkan bahwa sifat mudah berprasangka itu merupakan watak dari orang-orang yang kafir dan munafiq, sebagaimana firman-Nya berkenaan dengan sifat orang-orang kuffar : “… mereka tidak lain hanya mengikuti sangkaan-sangkaan, serta apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka …” (An-Najm, 53: 23). Atau firman-Nya dalam ayat yang lain: “Dan mereka tidak memiliki suatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan, sedangkan persangkaan itu tidak bermanfaat sedikitpun terhadap kebenaran.” (An-Najm, 53: 28).

Demikian pula Dia menyebutkan tentang sifat kaum munafiqin yang selalu berprasangka buruk kepada orang-orang yang beriman, dan merasa senang jika orang mu’min mendapat fitnah, sebagaimana dalam taujih-Nya: “… dan kalian menyangka dengan sangkaan yang buruk sehingga kalian menjadi kaum yang binasa.” (Al-Fath, 48: 12). Oleh karena itu, suatu saat sifat ini dapat menghinggapi orang-orang yang beriman jika tidak diantisipasi dan diluruskan, maka Dia Yang maha Rahman-pun mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian besar dari prasangka itu adalah dosa…” (Al-Hujuraat, 49: 12).

Namun kendatipun demikian, ternyata ada pula kalangan kaum beriman (yang mungkin karena belum mengenal saudaranya ataupun mungkin karena kualitas keimanannya yang belum baik) yang terpengaruh dan terjangkiti virus su’uzhan tersebut, bahkan kemudian menelan berbagai isu yang tidak baik itu, bahkan ikut menyebar-nyebarkannya tanpa melakukan tabayyun ke sumber pertama dan tanpa—setelah tabayyun—menunggu klarifikasi dari sumbernya tersebut: Sebenarnya substansi permasalahannya seperti apa? Ataukah dalam konteks apa hal tersebut terjadi atau kata-kata itu diucapkan? Atau bagaimana dikaitkan dengan pribadi yang menyampaikannya, apakah mungkin dengan segala kapasitas kehidupannya, perjuangannya, konsistensinya dalam dakwah dan jihad sampai saat ini ia berani melakukan atau menyampaikan seperti itu? Dan seterusnya.

Ikhwah wa akhawat fillah a’anakumullah…

Ketahuilah bahwa hal yang demikian itu pernah terjadi pula pada masa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan bahkan fitnah itu malah menimpa diri pribadi nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri dan keluarganya, yaitu isu yang menerpa salah seorang istri beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Ummul Mu’minin A’isyah radhiyallahu ‘anha yang diisukan ada ‘affair’—na’udzubillah—dengan salah seorang sahabat yaitu Shafwan bin Mu’aththal radhiyallahu ‘anhu yang berwajah ganteng saat pasca perang Bani Musthaliq (hadits selengkapnya dapat dirujuk dalam Kitab Ash-Shahihain, HR Bukhari, Bab: Law Laa Idz Sami’tumuuhu Qultum…, XV/457) yang jika kita teliti lebih mendalam hadits tersebut maka dapat kita simpulkan beberapa hukum fiqh sebagai berikut:

  1. Bahwa data memang ada (yaitu Aisyah radhiyallahu ‘anha berjalan berdua dengan Shafwan radhiyallahu ‘anhu), namun data tersebut—oleh orang yang menyebarkannya— tidak dikonfirmasi dahulu kepada sumbernya.
  2. Kenapa itu sampai terjadi? Lalu kalaupun mereka memang berjalan berdua (tepatnya Shafwan radhiyallahu ‘anhu menuntun Unta yang membawa Aisyah radhiyallahu ‘anha,  maka apakah penyebabnya? Lalu apakah benar itu dilakukan oleh mereka dengan sengaja? Lalu apa saja yang mereka lakukan dalam perjalanan tersebut? Dan seterusnya.

Lalu perhatikanlah baik-baik—wahai ikhwah wa akhwat fiddin a’azzakumullah—renungkanlah bagaimana Rabb kita, Pemilik kita dan Pembimbing kita yang Maha Mengajari dan Maha Mendidik telah mengajari kita dikala menyampaikan taujih Rabbani-Nya, Dia tidak langsung memberikan klarifikasi tentang duduk peristiwanya atau benar atau tidaknya tuduhan tersebut, melainkan Dia malah meluruskan mawaqif kaum mu’min jika mendengar berita seperti itu, yaitu agar membersihkan hati-hati mereka, mengarahkan ittijah (arah) mereka agar naik ke langit dan agar lepas dari tujuan-tujuan duniawi yang kotor, dan memberikan taujih yang membuat berlinangan airmata orang-orang yang bertaqwa dan gemetar hati orang-orang yang ikhlas. Bacalah kembali firman-Nya yang mulia di atas (An-Nuur, 24: 11-16).

Perhatikanlah bagaimana Dia—Yang tidak pernah tidur dan Maha Mengawasi—menegur dengan amat keras kepada sang penyebar isu dan orang-orang yang membenarkannya, sebagaimana dapat difahami dari susunan kalimat dan gaya bahasa yang digunakan-Nya saat menyampaikan kalimat di surat An-Nuur di atas. Perhatikanlah saat Dia berfirman: “…Dan kamu menganggapnya (menyiarkan berita yang belum di-tabayyun itu) adalah suatu (dosa) yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah (dosanya) adalah amat besar.”

Imam Ibnu Katsir rahimahullah saat menafsirkan ayat ini dalam Tafsir Al-‘Azhim, VI/28, menukil sebuah hadits yang diriwayatkan dalam Ash-Shahihain,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِى بِهَا فِي النَّارِأَبْعَدَمَا بَيْنَ الْمَسْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat” (HR. Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 2988)

Sementara Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya (Tafsir Al-Ahkam, XII/202), menyatakan bahwa makna ‘bi-anfusihim’ (terhadap diri mereka sendiri) dalam ayat 12 sebagai ‘bi-ikhwanihim’ (terhadap saudara mereka sendiri), kemudian beliau rahimahullah melanjutkan: “Bahwa Allah Ta’ala mewajibkan kepada seluruh orang beriman jika ada orang yang mencela orang lain ataupun menyebarkan isu, sementara yang menyampaikannya tidak dikenal (keadilan dan ke-wara’-annya) maka hendaklah ia menolaknya dan mendustakannya.”

Asy-Syahid (insya Allah) Sayyid Quthb rahimahullah menegaskan bahwa makna ‘bal huwa khayrul lakum’ (bahkan isu tersebut adalah baik bagi kalian), bahwa maknanya adalah: “karena ia menyingkap tipudaya dan para pelakunya terhadap Islam… dan ia juga menyampaikan kepada seluruh jama’ah Islam akan urgensinya diharamkan menuduh, dan (juga pentingnya) hukuman dera bagi para pelakunya…sebenarnya yang penting bukan sekedar hukuman tersebut, tetapi perlunya mengarahkan jama’ah ini menuju tujuan yang suci, cita-cita yang tinggi serta perilaku yang bersih dan suci..” (Tafsir Az-Zhilal, V/265)

Para Ulama Salafus Shalihin juga memberikan penekanan terhadap hal ini. Berkata Imam Al-Muhasibi rahimahullah:

“Cinta itu ada 3 macam, tidaklah seorang itu disebut sebagai orang yang mencintai Allah SWT kecuali dengan ketiga sifat tersebut, yaitu: Pertama, mencintai orang mu’min karena Allah dan tanda-tandanya adalah: Menahan diri dari menyakiti mereka, dan memberikan manfaat pada mereka; Kedua, mencintai Rasul karena Allah Ta’ala dan tanda-tandanya adalah mengikuti sunnahnya; Ketiga, mencintai Allah Ta’ala, dan tanda-tandanya adalah dengan taat pada-Nya dan tidak bermaksiat pada-Nya.”

Lalu Imam al-Muhasibi menambahkan: “Dan diantara tanda menahan diri dari menyakiti sesama muslim adalah dengan tidak buruk-sangka kepadanya.”

Berkata Imam Al-Qasimi rahimahullah: “Dan sebagaimana kamu diwajibkan untuk menghentikan lisanmu dari menyakitinya, maka demikian pula kamu diwajibkan untuk menghentikan hatimu dari menyakitinya pula yaitu dengan tidak berburuk-sangka padanya, karena buruk-sangka adalah meng-ghibbah dengan hati dan sama pula dilarang melakukannya. Maka menutupi aib dan kelemahannya serta melupakannya merupakan salah satu tanda orang-orang yang ahli agama. Dan ketahuilah bahwa tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sesama muslim sama seperti ia mencintai dirinya sendiri. Dan derajat terendah dari ukhuwwah adalah bergaul dengan saudaranya sesama muslim dengan hal yang ia sukai dan melupakan kekurangan dengan menutup kekurangannya dan berusaha menghilangkan sifat iri dan dengki, maka barangsiapa yang masih ada kedengkian dalam hatinya maka saksikanlah bahwa imannya lemah, dirinya berpenyakit dan hatinya busuk sehingga tidak pantas ia untuk berjumpa dengan Allah Ta’ala.”

Ikhwah wa akhawat fillah hafizhakumullaah…

Kita tidak mengkuatirkan apabila isu dan fitnah itu disebarkan oleh para musuh Islam atau kaum munafiqin, karena mereka memang ditaqdirkan untuk memerangi Islam dan syariat Allah, tetapi yang kita kuatirkan adalah jika isu atau fitnah itu disebarkan oleh sesama kaum muslimin—baik itu karena kejahilan atau karena keburukan akhlaq mereka—(kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari keduanya), bahkan yang lebih parah lagi jika isu itu juga ditelan oleh para kader dakwah, sehingga mereka disibukkan dengan mendengar haditsul-‘ifki (berita bohong) sementara wazhifah-yaumiyyah tidak dikerjakan.

Mereka sibuk membicarakan dan menyebarkannya dalam berbagai liqa’at, sehingga melemahkan shaff dan memudarkan semangat jihad mereka, maka dengan demikian para qiyadah akan disibukkan terus-menerus untuk meng-counter isu demi isu—dan inilah yang diinginkan oleh para musuh Islam—padahal isu tersebut amat jauh dari keadaan mereka, bahkan jangankan mereka berani mengkhianati ummat, sementara anak dan istri merekapun sering terabaikan demi dakwah, pekerjaan tetap pun tidak punya dan penghasilanpun tidak jelas karena makin bertambah beratnya beban dakwah dan makin meluasnya jaringan yang harus dikelola.

Jikapun kita tidak mau membantu mereka karena kesibukan ma’isyah ataupun studi kita, maka janganlah perberat beban mereka dengan menambah kerja mereka dengan hal-hal yang membuat fikiran semakin penat dan rambut semakin memutih, sebaliknya doakanlah mereka dan mintakan ampun bagi mereka disela-sela sujud dan tahajjud kita semua.

Ikhwah wa akhwat fiddin a’azzakumullaah…

Orang-orang telah merapatkan barisannya untuk menekan kebangkitan ini dan mengalahkan barisan para du’at, genderang perang sudah mulai ditabuh, isu sudah mulai ditebarkan kemana-mana untuk mencerai-beraikan pasukan serta melemahkan semangat juang. Maka al-akh ad-da’i dan al-ukh ad-da’iyyah dituntut untuk berprasangka baik pada dirinya dan orang lain, dan bagi seorang al-akh agar senantiasa berprasangka baik pada qiyadah-nya, murabbi-nya dan para ikhwah-nya yang lain.

Jangan melawan isu dengan isu, jangan melawan fitnah dengan fitnah pula, jangan melakukan provokasi, karena kita tidak berjuang demi dunia dan kenikmatan sesaat. Mendekatlah kepada Allah Ta’ala, bersabarlah juga karena Allah Ta’ala karena Dia melipatgandakan pahala bagi mereka yang bersabar dan ikhlas. Teguhlah dalam berjuang karena kita tidak berjuang karena si Fulan atau si Fulanah, sebab si Fulan atau si Fulanah akan mati dan akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di yaumil Mahsyar. Tetapi perjuangan kita adalah demi li I’la kalimatillaah, maka siapa yang menyimpang dari tujuan tersebut, maka saksikanlah bahwa ia telah bersiap-siap untuk menyimpang ke neraka.

Maka berbaik-sangka pada sesama saudara seiman adalah tanda iman dan merupakan tuntutan ukhuwwah dan tidak ada ukhuwwah tanpanya, sebagaimana sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,

وَكونوا عِبَادَ اللهِ إِخوَانَاً

 “Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR Bukhari, XX/205 dan  Muslim, XVI/400)

Akhirnya saya akhiri tulisan ini dengan doa seorang hamba yang mu’min dalam Al-Qur’an,

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”

Wallaahu a’lamu bish-Shawaab…

Posting Komentar

0 Komentar